Rabu, 29 April 2009

Implementasi Psikologi dalam Menghadapi Caleg Stres Pasca Pemilu 2009

Pemilihan umum yang telah diselenggarakan pada 09 April 2009 ini dalam memilih calon legislatif memunculkan berbagai permasalahan baru terutama permasalahan yang terkait aspek psikologis, hal ini ditandai dengan munculnya gangguan-gangguan psikis yang dialami oleh para calon legislatif yang mengalami kekalahan pasca pemilu 2009. Berbagai masalah ini muncul tidak lain adanya faktor- faktor yang sifatnya multicause.
Dalam teori faculty berpendapat bahwa tingkah laku manusia tidak bersumber pada faktor yang tunggal tetapi terdiri dari beberapa unsur antara lain yang memegang peranan penting adalah fungsi cipta(reason), rasa ( emosi) dan karsa ( will) .
Gangguan kejiwaan yang terjadi pada calon legislatif pasca pemilu 2009 adalah gangguan psikis yang mengakibat frustasi bahkan stress yang diakibatkan kekalahan dalam pemilu, ketidakpuasan terhadap hasil perhitungan suara, serta ketidakmampuan menghadapi stressor yang datang dari dalam diri individu maupaun dari luar individu.
Banyak yang menyatakan bahwa stress itu identik dengan perilaku beradaptasi. Stress memiliki ciri identik dengan perilaku dengan lingkungannnya, dimana lingkungan ini pun berasal dari luar dirinya ( outer World) tetapi juga dari dalam dirinya( inner world).
Stress merupakan adjustive demand yakni tuntutan untuk menyesuaikan diri, para calon legislatif yang mengalami stress kemungkinan besar karena ketidakmampuan dalam menyesuaikan dirinya baik secara sistemik maupun struktural, perilaku-perilaku sebelum pemilihan umum berlangsung, menunjukkan bahwa beberapa calon legislatif melakukan Frustasi behavior atau perilaku terfrustasi adalah suatu reaksi atas situasi yang menyebabkan diri sendiri maupun orang lain mengalami penurunan kualitas. Berbagai cara yang ditempuh para calon legislatif agar tercapainya tujuan yang dikehendaki yakni kemenangan dalam pemilu dan menjadi anggota legislatif, seperti penggunaan money politik , kampanye-kampanye yang berlebihan hingga menghabiskan uang jutaan rupiah, dan lain sebagainya.
Perilaku-perilaku yang dilakukan oleh para calon legislatif yang dapat dikatakan sebagai negatif behavior muncul akibat dalam diri individu dan lingkungan bahkan sistem yang diberlakuakan yang mempengaruhi kepribadian seseorang.
A. Pengertian Stress
Pada banyak kasus yang terjadi pada seseorang yang bisa dikatakan orang yang sakit atau orang yang mengalami gangguan kejiwaan , mempunyai berbagai macam sebab yang sifatnya kompleks baik dari aspek sosial, psikis dan organis yang beroperasi secara bersamaan. Ketika keadaan lingkungan, sistem bertumpang tindih yang menekan individu, disetai adanya reaksi yang memaksa dari internal individu tersebut yang kurang tepat serta mekanisme penyelesaian psikis yang salah.
Coleman menyatakan bahwa penyebab tingkah abnormal dan gangguan jiwa tidaklah tunggal tapi terkait dengankompleks perkembangan kepribadian ( multicausal) dan berkaitan dengan apa yang telah ada sebelum gangguan itiu muncul, yaitu faktor- faktor bawaan, predisposisi, kepekaan dan kerapuhan5
Stress bersumber dari frustasi dan konflik yang dialami individu yang dapat berasal dari berbagai bidang kehidupan manusia. Konflik antara dua atau lebih kebutuhan atau keinginan yang hendak dicapai, kemudian terjadi benturan juga bisa menjadi penyebab timbulnya stress. Sering kali individu mengalami dilema saat diharuskan memilih alternatif yang ada terutama yang menyangkut kehidupan yang akan datang, konflik dapat menjadi pemicu timbunya stress atau tidak terjadinya ketegangan yang berkepanajangan yang akan mengalami kesulitan dalam mengatasinya.6
Setiap manusia mempunyai potensi yang mendasar yakni kebutuhan ( multiple need) dan insting, dalam hal ini insting mempertahankan diri yang menuntut diri menyesuaikan dengan lingkungan atau sistem yang diberlakukan. Stress merupakan bentukan dari frustasi yang tidak dapat dikendalikan.
Frustasi adalah suatu momen dimana seseorang menghayati situasi terhambat ketika melakukan upaya untuk mencapai apa yang diinginkan atau dituju. Reaksi dari frustasi ada dua macam, yaitu:
1. unfrustrated behavior (perilaku yang tidak terfrustasi) yakni perilaku berupa tindakan-tindakan tidak merusak atau mengganggu baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.
2. Frustrated behavior (perilaku yang terfrustasi) yakni perilaku-perilaku yang merusak (dustructed), baik dengan dirinya maupun orang lain.7
Stress juga merupakan hasil dari munculnya dua atau lebih kebutuhan atau motif yang tidak sesuai secara bersama-sama dengan kekuatan yang jusa sama. Dalam kondisi tersebut individu seharusnya membuat keputusan berupa pilihan yang akan dilakukan atau yang tidak. Mengacu pada teori Lewin mengenai kebutuhan-kebutuhan yang ada dalam diri manusia, maka dikenal dengan tiga jenis konflik, yakni:
1. Approach- avodaince conflict adalah konflik yang melibatkan kecenderungan yang kuat atau menjauhi goal (tujuan) yang sama.
2. Double Approach conflict adalah konflik yang melibatkan dua atau lebih tujuan yang diinginkan.
3. Double Avoidance conflict adalah konflik yang terjadi saat dua atau lebih pilihan yang tidak satupun dikehendaki, tetapi salah satu harus dilakukan.8

a. Strategi menghadapi stress dalam perilaku
Ada beberapa strategi dalam perilaku antara lain meliputi:
1. Memecahkan persoalan secara tenang. Yaitu menevaluasi kekecewaan atau stress dengan cermat kemudian menentukan langkah yang tepat untuk diambil.
2. Agresi. Stres sering memuncak pada kemarahan atau agresi. Agresi merupakan yang berupa respon penyesuaian diri.
3. Regresi. Yaitu kondisi seseorang yang menghadapi stres kembali pada perilaku mundur atau kembali ke masa yang lebih muda.
4. menarik diri, merupakan respon yang paling umum dalam mengambil sikap, seseorang yang menarik diri denagnmemilih untuk tidak mengambil tindakan apapun. Respon ini biasanya disertai dengan depresi dan sikap apatis.
5. Mengelak. Seseorang yang mengalami stres terlalu lama, kuat dan terus menerus maka akan cenderung mengelak.9

b. Strategi mengatasi stres secara kognitif
Strategi mengatasi stres secara kognitif antara lain:
1. Represi adalah upaya untuk menyingkirkan frustasi, stres dan lainya yang menimbulkan kecemasan.
2. Menyangkal kenyataan mengandung unsur penipuan diri.
3. Fantasi
4. Rasionalisasi dimaksudkan segala usaha seseorang untuk mencari alasan yang dapat diterima secara sosial untuk membenarkan atau menyembunyikanperilakunya yang buruk.
5. Intelektualisasi yakni seseorang yang menggunakan taktik, mencari tahu tujuan sebenarnya agar tidak terlibat secara emosional.
6. Pembentukan reaksi
7. Proyeksi10

B. Berat Ringannya Stres
Stres dapat diidentifikasikan ringan dan berat. Stress yang berat akan lebih cepat, kuat dan lebih lama membangkitkan gangguan dalam diri seseorang. Demikian sebaliknya , stres ringan baru setelah beberapa waktu terasa dampaknya. Maka disini penting untuk mengetahui faktor-faktor predisposisi yang ada dalam diri individu untuk mengalami stres.
Taraf gangguan yang aktuala dan menimbulkan kehidupan seseorang memiliki kerakteristik stres yang terdapat dalam individu, baik personal maupun situasionalatau relasi diantara keduannya. Adapun faktor-faktor yang mengarahkan pada stres adalah:
1. Hakekat atau sumber stres
Dampak stressor tergantung pada nilai pentingnya, durasi, efek komulatif, kebergandaan, dan immunance. Meskipun hampir secara umum ketegangan berkaitan dengan masalah, sumber ketegangan (stres) yang melibatkan aspek-aspek kehidupan individu yang penting, cenderung menampilkan taraf ketegangan yang tinggi.
Orang ynag mengalami traumatik adalah kejadiannyang menimbulkan luka psikis yang mempengaruhi tingkah lakunya, relatif akan menderita stres lebih besar daripada yang belum mengalami trauma.
2. Persepsi dan toleransi terhadap stres
Persepsi dan toleransi terhadap stres adalah yang menentukan berat stresitu bukan dalam pengertian obyektif, melainkan bersifat subyektif. Jika sumber stres dipersepsikan sebahgai sesuatu yang membahayakan atau sangat penting atau kejadian tidak dapat ditoleransikan, maka ketegangan yang diakibatkan akan sangat besar.
Begitu juga orang-orang yang kurang toleran atau tidak bisa menerima sesuatu yang berbeda dengan dirinya atau dengan apa yang diinginkannya, akan mudah mengalami stres. Toleransi adalah kesiapan seseorang untuk membiarkan hal-hal yang oleh dirinya dianggap tidak baik
3. Sumber daya ekternal dan dukungan sosial
Sumber daya ekternal dan dukungan sosial sering kali memperlihatkan kondisi yang makin penting. Ekternal resources yang berasal dari lingkungan seringkali dapat memberikan sumbangan yang besar terhadap berat-ringannya stres, demikian juga social support dianggap penting jika seseorang mengalami kesukaran masalah sosial, misalnya terkena PHK atau masalah –masalah masyarakat dan individual akan juga merupakan sumber daya ekternal.11

C. Langkah-langkah yang dilakuakan untuk menyesuaiakan diri terhadap stres, antara lain:
1. menilai situasi stres, yaitu menggolongkan jenis stres dan memperkirakan bahaya yang berkaitanm dengan stres.
2. merumuskan alternatif tindakan yang dapat dilakukan dan menentukan tindakan yang paling mungkin dilakukan.
3. melaksanakan tindakan
4. melihat feedback 12.

A. Implementasi Psikologi dalam Menghadapi Caleg Stres Pasca Pemilu 2009.
Pemilu 2009 telah digelar pada hahri kamis, 09 April 2009, sebgaian rakyat negeri ini mengadakan pesta penyontrengan untuk memilih calon legislatif. Berbagai dugaan sebelum berlangsungnya pemilu 2009 akan memunculkan persoalan yang sangat rumit.
Pemilu yang berlangsung bulan April tahun ini menyimpan potensi ledakan masalah sosial yaitu ledakan para caleg yang stres atau frustasi karena gagal dalam menjadi anggota legislatif.
Munculnya berbgai permasalahan pasca pemilu 2009 yang khusunya bagi para calon legislatif yang mengalami tekanan yang disebabkan kekahalahannya, hal ini tidak lain karena faktor dari dalam individu para caleg dan juga faktorn ektern baik lingkungan maupun sistem.
Stres merupakan gangguan yang sifatnya psikis dan juga mengantarkan pada gannguan kepribadian. Jika ditelaah lebih lanjut mengenai kepribadian, kepribadian itu dibentuk oleh pola-pola yang akan mengantarkan pada perilakunya.
Perilaku adalah apa yang dilakukan manusia untuk memuaskan segala kebutuhan atau keinginanan, baik kebutuhan jasmani maupun insting. Perilaku adalah bentuk proses pemuasan terhadap need dan insting yang ada pada manusia. 13
Kepribadian seseorang itu terbentuk adanya dua pola yakni pattern of thought (pola pikir) dan pattern of behaviour (pola perilaku), dari pola- pola inilah baik pola pikir yang terkait dengan cara berpikir manusia dalam menentukan tindakan yang didasari oleh landasan tertuntu dan pola perilaku adalah sikap jiwa manusia yang mengantarkan pada kecenderungan dalam memenuhi need dan insting dalam dirinya.
Stres yang terjadi pada caleg yang mengalami kekalahan merupakan keterkaitan dengan gangguan kepribadian caleg, ketika pola pikir dan pola perilakunya yang hanya berorientasi pada kemanfaatan saja . misalnya keinginan menjadi anggota legislatif, kekuasaan dan kesejahteraan materiil tidak terpenuhi. Hal inilah yang menjadikan para calon legislatif mengalami penurunan kualitas psikis maupun aspek kepribadiannya.
Keadaan yang terhambat dalam mencapai suatu tujuan inilah yang dinamakan frustasi, keadaan frustasi yang yang berlangsung terlalu lama dan tidak dapat diatasi oleh seseorang akan menimbulakn stress . stress adalah suatu keadaan yang dimana beban yang dirasakan seseorang tidak sepadan dengan kemampuan untuk mengatasi beban tersebut.14
Frustasi maupun stres yang dialami para calon legislatif atas ketidakmampuan diri menerima kekalahan pasca perhitungan suara akhirnya memunculakn perilaku yang sifatnya mengganggu, misalnya karena kalah dalam pemilu caleg tersebut berusaha bunuh diri lantaran tidak mampu membayar hutang untuk biaya kampanye, memunculakan sikap-sikap agresif, dan juga ketegangan-ketegangan sosial .
Komponen perilaku / konatif dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang yang berkaitann dengan objek sikap yang dihadapi. Kaitan ini didasari oleh asumsi bahwa kepercayaan dan perasaan bnayak pengaruh perilaku.15
Dalam meghadapi stres para calon legislatif pasca pemilu 2009 ini, psikologi mempunyai peranan penting dalam mengatasi permasalah tersebut, psikologi tidak terlepas bagaimana individu berperilaku yang dengan gejala- gejala yang muncul. Dalam menangani stres yang terjadi para caleg pasca pemilu membutuhkan usaha yang komprehensif. Adapun pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan antara lain:
1. Pendekatan Biologis
Pendekatan biologis dapat menggunakan atau pemberian obat-obatan, perawatan dirumah sakit dalam mendiagnosis seseorang yang diklasifikasikan gangguan kejiwaan atau tingkah laku abnormal.
2. Pendekatan Psikologis
Pendekatan psikologis ini terkait dengan aspek kognitif, afektif dan konatif. Dalam aspek kognitif stes dapat ditangani dengan memberikan pengaruh yang cukup besar dalam proses berfikir, memahami dan mennetukan keputusan, ketika seseorang melakukan suatu aktifitas tergantung dari persepsi terhadap informasi yang didapatkan melalui pengidraannya. Aspek kognitif inilah yang akan menentukan pattern of thought (pola pikir) dalam menentukan cara yang harus dilakukan.
Aspek afektif adalah penanganan dengan mengerti dan memahami perasaan klien, sehinnga orang yang mengalami stres sehingga dapat merasakan ketenangan.
Sedangkan aspek konatif (psiko motorik) yang merupakan gabungan dari aspek kognitif dan afektif, misalnya para caleg yang mengalami stres tidak menutup kemungkinan dalam kehidupan agamanya yang kurang sehingga memunculkan perilaku-perilaku abnormal. Menurut Willeam James sikap keberagaman orang yang sakit jiwa yakni mereka yang mengalami latar belakang kehidupan keagamaan yang terganggu, latar belakang inilah yang menyebabkan perubahan sikap mendadak terhadap keyakinan ( the sick soul)16.
3. Pendekatan Sosial
Pendekatan sosial terutama dukungan sosial juga dibutuhkan dalam penanganan stres. Adanya gangguan kejiwaan yang terjadi pasca pemilu legislatif tahun ini merupakan permasalahan yang cukup guming, masyarakat memandang bahwa para caleg yang mengalami gangguan kejiwaan seperti frustasi, stres bahkan gila ini sangat terkait dengan kondisi para caleg yang kalah di lingkunagn sosialnya, misalnya malu karena perolehan suara yang tidak sesuai keinginan, perasaan dendam dan sakit hati terhadap masyarakat akibat tidak memilihnya, keterpurukan dalam keuangannya dan lainya menimbulkan perubahan perilaku yang dianggap masyarakat menyimpang.
Dalam Teori pertinbangan sosial melihat perubahan sikap dari pendekatan psikologi sosial. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh faktor intern dan faktor ekternal. Faktor intern: persepsi sosial, posisi sosial dan proses belajar sosial. Faktor ektern : reinforcement( penguat), komunikasi persuasif, harapan yang diinginkan. Perubahan sosial oleh keputusan-keputusan sosial sebagai hasil interaksi internal dan ekternal.17
4. Pendekatan Sistemik
Stres dalam kamus ilmiah populer disebut sebagai sebuah tekanan, stres yang terjadi pada caleg pasca pemilu tahun ini ada;lah bentuk tekanan-tekanan yang kemudian dari tekanan-tekanan tersebut tidak mampu mengontrol keinginan, ambisi dalam menduduki kursi kekuasaan, kekayaan materiil dan kedudukan sosial.
Coleman menyatakan bahwa penyebab tingkah abnormal dan gangguan jiwa tidaklah tunggal tapi terkait dengankompleks perkembangan kepribadian ( multicausal) dan berkaitan dengan apa yang telah ada sebelum gangguan itiu muncul, yaitu faktor- faktor bawaab, predisposisi, kepekaan dan kerapuhan.18 .
Berbagai permasalahan yang ada tidak terlepas dengan adanya sistem yang diberlakukan dalam sebuah negara, penyebab gangguan-gangguan kejiwaan adalah salah satu akibat penerapan sebuah sistem, karena sisitem inilah yang mempengaruhi manusia secara sistematik baik dalam individu maupun lingkungan. Di dalam sebuah sistem mencakup seluruh aspek kehidupan.
Misalnya seseorang yang hidup dalam lingkungan sosial, lingkungan sosial yakni lingkungan masyarakat, diamana lingkungan masyarakat ini adanya interaksi individu satu dengan individu lainya.19 tidak akan bisa dikatakan sebagai sebuah masyarakat, karena inti dari masyarakat adalah yang mempunyai pemikiran , perasaan dan peraturan yang sama. Sedangkan dalam kasusu yang terjadi stres para caleg ini kemungkinan besar karena sang caleg merasa masyarakat akan memilihnya karena dalam suatu wilayah tertentu.
Setiap tingkah laku manusia tidak terlepas dari pengaruuh yang berasal dari dalam dirinya maupun lingkungannya serta sistem yang ada. Di Indonesia denag penerapan sistem kapitalisnme sekulerisme inilah yang menjadikan paradigma masyarakat yang dilandaskan pada asa tersebut yang hanya kemanfaatan dan pemenuhan kebutuhan semata.
Teori konvergensi yang beranggapan bahwa setiap tingkah laku manusia merupakan hasil pertemuan antara faktor pribadi dengan lingkungan.20.
Dengan menggunakan pendekatan sitemik akan lebih jelas akar permasalah kenapa sebuah masalah baru itu muncul, dengan dasar sitemik inilah yang akan menentukan aparadigma apa yang akan digunakan sebagai problem solving.
Cara pandang akan menentuka sikap atau perilaku dan persaaan , paradigma adalah cara manusia , mempersepsikan, mengerti dan menafsirka dunia., cara pandang inilah sangat dipengaruhi oleh informasi apa yang selama ini diketahui, secara terus menerus dan masuk dalam pikiran21.
Meraih kekuasaan adalah naluriah akan tetapi jika cara yang digunakan salah akan mengakibatkan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Kekuasaan , menurut alfred adler bahwa secara naluriayah manusia ingin berkuasa dan nietrzche menyebutkan sebagai motif primer dalam kehidupan.
Aristoteles mengangapa bahwa manusia pada hakikatnya adalah zoon political( makhluk berpolitik) yang artinya manusia senantiasa berinteraksi saling mengatur dan memimpin satu sama lain22.
Sistem sangat berperan dalam mempengaruhi perilaku, jika para caleg menyadari secara benar tentang politik yang pada hakikatnya mengurusi urusan masyarakat, tidak hanya kekuasaan, kedudukan dan terpenuhinya kebutuhan hidupnya semata.

B. Faktor- Faktor yang Menyebabkan Stres Caleg Pasca Pemilu 2009
1. Faktor Internal
Adalah faktor yang berasal dari dalam individu tersebut, mengenai psikis( kognitif, afektif dan psiko motorik), kesehatan fisik (bawaan), keuangan., aspek spiritualnya.
Penyebab yang berasal dari intern caleg yang stres ini adalah para caleg yang mengalami kekalahan, tidak mampu mengontrol, mengatur dan mengonsep dirinya pada hal-hal yang akan terjadi pasca pemilu. Misalnya seorang caleg yang memaksakan dirinya untuk mencapai keinginan menjadi anggota legislatif, berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan keinginananya sampai sampai terlalu percaya diri bahwa dirinya akan menang dalam pemilu dengan hutang modal untuk biaya kampanye, melakukan kesyirikan ( mendatangi dukun dan perklenikan lainya), menjual tanah dan hartanya untuk mencapai keinginanya.
2. Faktor Ekternal
Faktor ekternal adalah faktor berasal dari luar individu, pada seseorang yang mengalami gangguan stres, terjadi diakibatkan faktor-faktor ekternal yang saling terkait antara satu dengan lainya, dalam teori Faculty menyatakan bahwa penyebab gangguan tidak hanya terdiri dari satu penyebab akan tetapi adanya penyebab lain yang sangat komplek.
Faktor-faktor ekternal yang menyebabkan stres pasca pemilu anata lain, sebagai berikut:
a. Social-Culture Area
Faktor ini mempengaruhi bagaimana individu berperilaku, ketika seseorang bersosial dalam lingkungan sosial yang buruk, misalnya dalam persepsi, pola pergaulan, pola interaksinya, hal ini tanpa disadari atau tidak akan membentuk diri pribadi tertentu yang notabennya juga sekuler-kapitalis. Gangguan stres yang terjadi pada caleg pasca pemilu tahun ini pun dalam lingkungan yang memili budaya kapitalis, seakan yang kuat adalah yang menang. Statement yang seperti ini membuat para calon legislatif terus berusaha berbagai cara untuk mendapatkan tujuan yang diinginkan.
a. Official System
Sistem yang diberlakukan dalam sebuah negara sangat berpengaruh bagi mobilitas manusia, karena sistem mencakup seluruh aspek kehidupan antara lain, ekonomi, sosial, pendidikan, sampai pada urusan kenegaraan. Banyaknya caleg yang stres tidak lain karena sistem yang ada di Indonesia yang kapitalis sekuler. Pemilu dipilih untuk membuat sebuah aturan kehendak manusia secara subyektif, manusia yang melegimasi hukum, manusia berlomba mencari kekuasan, kekayaan sebanyak-banyaknya, tanpa meliahat hal ini benar atau salah. Yang akhirnya muncul permasalahan-permasalahan cabang .
Pada akhirnya Pemilu tidak lagi untuk kepentingan rakyat tetapi kepentingan segelintir orang yang berambisi pada kedudukan, kekayaan semata yang terjadi hanya orientasi pada materiil, kemanfaatan dan terpenuhinya kebutuhan jasmani.
Maka bukan merupakan suatu hal yang aneh pasca pemilu legislatif tahun 2009 ini, banyak para calon caoln legislatif yang frustasi, strss bahkan gila setelah mengetahui perhituingan suara yang tidak sesuai dengan target yang diharapkan.


Daftar Rujukan

Bimo walgito, Pengantar Psikologi Umum , Yogyakarta: UGM press, 1986
Fj Monk AMP Terj. Siti Rahayu Haditomo, Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai Bagian, Yogjakarta: Gadjah Mada Unversiti press2004.

Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2008.
MD Ryan, political Quetiont,Bandung: madani prima, 2008
M. Ismail Yusanto & M Sigit P.J, Membangun Kepribadian Islam, Jakarta: Khoirul Bayan, 2005.

N faqih syarif, Don’t Give up Plus.Surabaya: Quantum spirit,2006
Pius A, Partanto, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994
Suprapti Salmet& Sumarno Markam, Pengantar Psikologi klinis,Jakarta: UI Press, 2003

Sutardjo. AW, Pengantar Psikologi Abnormal, Bandung: PT Refika Aditama, 2007).
Syaifudin Azwar, Sikap Manusia Teori dan Pengukuranya. Yogyakarta: Pustaka pelajaran, 2007.

Triasdi Ardi Ardani, dkk. Psikologi Klinis Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.

Rabu, 08 April 2009

Gangguan somatoform dan Disosiatif

Gangguan Somatoform
Kata somatoform diambil dari bahasa Yunani soma, yang berarti “tubuh”. Gangguan Somatoform merupakan suatu kelompok gangguan yang ditandai oleh keluhan tentang masalah atau simtom fisik yang tidak dapat dijelaskan oleh penyebab kerusakan fisik atau dengan kata lain gangguan ini muncul karena adanya kekhawatiran patologis seseorang terhadap penampilan atau fungsi tubuhnya, yang biasanya tanpa disertai oleh kondisi medic yang dapat diidentifikasi. Jadi Gangguan Somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang meliputi simtom fisik (misalnya : nyeri, mual, dan pening) dimana tidak dapat ditemukan penjelasan secara medik.
Berbagai simtom dan keluhan somatic tersebut cukup serius, sehingga menyebabkan stress emosional dan gangguan dalam kemampuan penderita untuk berfungsi dalam kehidupan sosial dan pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan somatoform mencerminkan penilaian klinis bahwa faktor psikologis adalah suatu penyumbang besar untuk keparahan dan durasi gejala.
DSM-IV menyebutkan lima gangguan somatoform dasar, yakni: Hypochondriasis, Somatization Disorder, Conversion Disorder, Pain Disorder, Body Dysmorphic Disorder. Pada masing-masing gangguan, individu secara patologis mengkhawatirkan penampilan atau fungsi tubuhnya.
1. HYPOCHONDRIASIS (Hipokondriasis)
Kata “Hypochondriasis” berasal dari istilah medic lama “hypochondrium”, yang berarti dibawah tulang rusuk, dan merefleksikan gangguan pada bagian perut yang sering dikeluhkan pasien hipokondriasis. Pada hipokondriasis ditandai dengan kecemasan atau ketakutan memiliki penyakit serius. Hipokondriasis merupakan hasil interpretasi pasien yang tidak realistis dan tidak akurat terhadap gejala somatic, sehingga menyebabkan ketakutan bahwa mereka memiliki gangguan yang parah (misalnya: Kanker atau masalah jantung), bahkan meskipun tidak ada penyebab medis yang ditemukan.

Rasa takut tetap ada walaupun telah diyakinkan medis bahwa ketakutan itu tidak berdasar. Pada umumnya pasien hipokondriasis mengalami ketidaknyamanan fisik, seringkali melibatkan system pencernaan atau campuran rasa sakit dan nyeri. Selain itu pasien ini juga sangat sensitif terhadap perubahan ringan dalam sensasi fisik, seperti perubahan dalam detak jantung dan sedikit sakit serta nyeri. Jadi Hipokondriasis adalah gangguan somatoform yang melibatkan kecemasan berat seseorang karena adanya keyakinan bahwa dirinya sedang mengalami proses penyakit tanpa adanya dasar fisik yang jelas. Ciri-ciri diagnostik dari hipokondriasis :
a. Orang tersebut terpaku pada ketakutan memiliki penyakit serius atau pada keyakinan bahwa dirinya memiliki penyakit serius. Orang tersebut menginterpretasikan sensasi tubuh atatu tanda-tanda fisik sebagai bukti dari penyakit fisiknya.
b. Ketakutan terhadap suatu penyakit fisik, atau keyakinan memiliki suatu penyakit fisik, yang tetap ada meski telah diyakinkan secara medis.
c. Keterpakuan tidak hanya pada intensitas khayalan (orang itu mengenali kemungkinan bahwa ketakutan dan keyakinan ini terlalu dibesar-besarkan atau tidak mendasar) dan tidak terbatas pada kekhawatiran pada penampilan.
d. Keterpakuan menyebabkan distress emosional yang signifikan atau mengganggu satu atau lebih area fungsi yang penting, seperti fungsi social atau pekerjaan.
e. Gangguan telah bertahan selama 6 bulan atatu lebih.
f. Keterpakuan tidak muncul secara eksklusif dalam konteks gangguan mental lain.

2. SOMATIZATION DISORDER (Gangguan Somatisasi)
Gangguan somatisasi, sebelumnya dikenal sebagai sindrom Briquet, yang mengacu pada nama dokter dari Perancis, Pierre Briquet yang pertama kali menjelaskan gangguan ini. Gangguan somatisasi adalah suatu tipe gangguan somatoform yang melibatkan berbagai keluhan yang muncul berulang-ulang, yang tidak dapat dijelaskan oleh penyebab fisik apapun. Gangguan ini meliki karakteristik dengan berbagai keluhan atau gejala somatic yang tidak dapat dijelaskan secara akurat dengan menggunakan hasil pemeriksaan fisik maupun laboratorium.
Keluhan-keluhan yang diutarakan biasanya mencakup system-sistem organ yang berbeda. Keluhan-keluhan itupun tampak meragukan dan dibesar-besarkan, dan orang itu sering kali menerima perawatan medis dari sejumlah dokter. Perbedaan gangguan
somatisasi dengan gangguan somatoform lainnya adalah banyaknya keluhan dan banyaknya system tubuh yang terpengaruh. Ciri-ciri gangguan somatisasi meliputi:
• Riwayat banyak keluhan fisik yang mulai muncul sebelum usia 30 tahun, yang berlangsung selama bertahun-tahun dan menyebabkan individu mencari penanganan untuk mengatasi masalahnya atau mengalami hendaya signifikan dibidang-bidang yang dianggap penting.
• Menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut:(1) Empat gejala fisik (nyeri) pada lokasi berbeda (misalnya kepala,pundak,lutut,kaki); (2) dua gejala gastrointestinal yang tidak menimbulkan nyeri (misalnya mual, diare, kembung); (3) satu gejala seksual (misalnya pendarahan menstruasi yang sangat banyak, disfungsi ereksi); (4) satu gejala pseudoneurologis (misalnya penglihatan ganda,gangguan koordinasi atatu keseimbangan, sulit menelan).
• Keluhan-keluhan fisik tidak dapat dijelaskan sepenuhnya berdasarkan kondisi medis secara umum atau berdasarkan efek substansi tertentu (misalnya efek obat atau penyalah gunaan obat) atau bila ada kondisi medis secara umum, keluhan fisik atau hendayanya melebihi perkiraan untuk kondisi medis tersebut.
• Keluhan atau daya ingat tidak dibuat secara sengaja atau pura-pura.

3. CONVERSION DISORDER (Gangguan Konversi)
Gangguan konversi adalah mal-fungsi fisik, seperti kebutaan atau kelumpuhan yang mengesankan adanya kerusakan neurologis, tetapi tidak ada patologi organic yang menyebabkan. Pada gangguan ini dicirikan oleh suatu perubahan besar dalam fungsi fisik atau hilangnya fungsi fisik, meski tidak ada temuan medis atau neurologi yang dapat ditemukan sebagai simtom atau kemunduran fisik tersebut. Gejala somatik ini biasanya timbul tiba-tiba dalam situasi yang penuh tekanan.
Gangguan konversi dinamakan demikian karena adanya keyakinan psikodinamika bahwa gangguan tersebut mencerminkan penyaluran, atau konversi, dari energy seksual atau agresif yang direpresikan ke simtom fisik. Pada masa lampau, konversi ini dikenal dengan istilah hysteria. Gangguan ini biasanya mulai pada masa remaja atau dewasa muda, terutama setelah mereka mengalami stress
dalam kehidupan. Prevalensinya sekitar 22 orang per 100.000 penduduk, dengan penderita perempuan 2 kali lebih banyak dibandingkan laki-laki.

Ciri-ciri Diagnostik dari Gangguan Konveksi :
a. Paling tidak terdapat satu simtom atau deficit yang melibatkan fungsi motoriknya volunter atau fungsi sensoris yang menunjukkan adanya gangguan fisik
b. Faktor psikologis dinilai berhubungan dengan gangguan tersebut karena onset atau kambuhnya simtom fisik terkait dengan munculnya stresor psikososial atau situasi konflik.
c. Orang tersebut tidak dengan sengaja menciptakan simtom fisik tersebut atau berpura-pura memilikinya dengan tujuan tertentu.
d. Simtom tidak dapat dijelaskan sebagai suatu ritual budaya atau pola respons, juga tidak dapat dijelaskan dengan gangguan fisik apapun melalui landasan pengujian yang tepat.
e. Simtom menyebabkan distres emosional yang berarti, hendaya dalam satu atau lebih area fungsi, seperti fungsi sosial atau pekerjaan, atau cukup untuk menjamin perhatian medis.
f. Simtom tidak terbatas pada keluhan nyeri atau masalah pada fungsi seksual, juga tidak dapat disebabkan oleh gangguan mental lain.
Freud mengemukakan bahwa terdapat empat proses dasar dalam pembentukan gangguan konveksi :
a. Individu mengalami peristiwa traumatik, hal ini oleh Freud dianggap awal munculnya beberapa konflik yang tidak diterima dan disadari.
b. Konflik dan kecemasan yang dihasilkan tidak dapat diterima oleh ego, terjadi proses represi (membuat hal ini tidak disadari).
c. Kecemasan semakin meningkat dan mengancam untuk muncul ke kesadaran, sehingga orang tersebut dengan cara tertentu “mengkonversikannya” ke dalam simtom fisik. Hal ini mengurangi tekanan bahwa ia harus mengatasi langsung konfliknya disebut primary gain (peristiwa yang dianggap member imbalan primer dan mempertahankan simtom konversi).

d. Individu memperoleh perhatian dan simpati yang besar dari orang-orang di sekitarnya dan mungkin juga dapat melarikan diri atau menghindar dari tugas atau situasi tertentu terdapat pula secondary gain.
4. PAIN DISORDER (Gangguan Nyeri)
Pain disorder atau Gangguan nyeri adalah ganguan somatoform yang memiliki fitur nyeri riil tetapi baik onset, tingkat keparahan, maupun persistensinya banyak ditentukan oleh faktor-faktor psikologis. Gangguan nyeri ini biasanya pada satu tempat atau lebih, yang tidak dapat dijelaskan secara medis maupun neurologis. Simtom ini menimbulkan stress emosional ataupun gangguan fungsional sehingga berkaitan dengan faktor psikologis. Keluhan dirasakan pasien berfluktuasi intensitasnya, dan sangat dipengaruhi oleh keadaan emosi, kognisi, atensi, dan situasi sehingga faktor psikologis mempengaruhi kemunculan,bertahannya, dan tingkat keparahan gangguan. Ciri-ciri gangguan nyeri meliputi:
• Adanya nyeri/rasa sakit serius di satu lokasi antomis atau lebih.
• Nyeri itu menyebabkan distres atau hendaya yang signifikan secara klinis.
• Faktor-faktor psikologis di nilai berperan pokok dalam onset, tingkat keparahan, keadaan yang memburuk, atau persistensi nyeri.
• Nyeri itu bukan pura-pura atau sengaja dibuat.

5.BODY DYSMORPHIC DISORDER (Gangguan Dismorfik Tubuh)
Gangguan dismorfik tubuh adalah gangguan yang memiliki preokupasi disroptif pada kekurangan yang dibayangkan terdapat pada penampilan seseorang (imagined ugliness). Artinya dimana seseorang memiliki preokupasi dengan kecacatan tubuh yang tidak nyata (misalnya hidung yang dirasakan kurang mancung), atau keluhan yang berlebihan tentang kekurangan tubuh yang minimal atau kecil. Orang pada gangguan dismorfik tubuh terpaku pada kekurangan fisik yang dibayangkan atau dibesar-besarkan dalam hal penampilan mereka. Mereka dapat menghabiskan waktu berjam-jam untuk memeriksakan diri di depan cermin dan mengambil tindakan yang ekstrem untuk mencoba memperbaiki kerusakan yang dipersepsikan, bahkan menjalani operasi plastik yang tidak dibutuhkan. Pada gangguan ini faktor subjektivitas berperan penting. Penyebab gangguan hingga saat ini belum dapat diketahui dengan pasti. Namun diperkirakan terdapat hubunganhubungan antara gangguan dengan pengaruh budaya atau sosial, dengan adanya konsep stereotip tentang kecantikan.



B. GANGGUAN DISOSIATIF

Gangguan disosiatif adalah gangguan yang ditandai dengan adanya perubahan individu tentang identitas, memori, atau kesadarannya. Individu yang mengalami gangguan ini memperoleh kesulitan untuk mengingat peristiwa-peristiwa penting yang pernah terjadi pada dirinya, melupakan identitas dirinya bahkan membentuk identitas baru. Ganggguan ini muncul akibat peristiwa traumatic dalam kehidupan dan digunakan sebagai pertahan diri menghadapi peristiwa tersebut. Gangguan disosiatif mencakup 4 gangguan yakni;
(1) Gangguan Identitas Disosiatif
(2) Amnesia Disosiatif
(3) Fugue Disosiatif
(4) Gangguan Depersonalisasi.

1. Dissociative Identity Disorder (Gangguan Identitas Disosiatif)
Gangguan identitas disosiatif adalah gangguan yang kronis dan paling serius kemunculannya biasanya berkaitan dengan adanya pengalaman traumatic dalam kehidupan individu, pada mulanya penyiksaan fisik pada kanak-kanak. Pada gangguan ini terkadang tersebut sebagai kepribadian terpecah, dengan kata lain seseorang memiliki dua atau lebih kepribadian yang berbeda atau kepribadian pengganti (alter).
Perubahan atau transisi dari satu kepribadian ke kepribadian lain, biasanya berlangsung secara mendadak dan mengejutkan.
Ciri-ciri gangguan identitas disosiatif, antara lain:
1. Sedikitnya dua kepribadian yang berbeda ada dalam diri seeorang, dimana masing-masing pola yang relatif kekal dan berbeda dalam mempersepsikan, memikirkan dan berhubungan dengan lingkungan serta self.
2. Dua atau lebih dari kepribadian ini secara berulang mengambil control penuh atas individu itu.3. Ada gangguan untuk mengingat kembali informasi pribadi penting yang terlalu substansial untuk dianggap sebagai lupa biasa.
4. Gangguan ini tidak dianggap terjadi karena effek zat psikoaktif atau kondisi medis umum.
2. Dissociative Amnesia (Amnesia Disosiatif)
Gangguan yang biasanya disebut orang yang tidak mampu mengingat apapun termasuk dirinya sendiri atau generalized amnesia (amnesia total) amnesia yang dapat berlangsung seumur hidup adapun mengenai localized amnesia atau selective amnesia yakni ketidakamampuan untuk mengingat kejadian –kejadian tertentu, biasanya terjadi karena kejadian yang traumatic. Gangguan ini disebut sebagai kehilangan ingatan tidak disebabkan oleh penyebab organic tertentu, seperti kerusakan pada otak atau kondisi medis tertentu,bukan pula effect langsung dari obat-obatan atau alcohol.
Ciri-ciri Dissosiatif amnesia,antara lain:
1. Satu episode atau lebih ketidakmampuan mengingat informasi pribadi yang penting, biasanya yang bersifat traumatic atau stressfull, yang terlalu ekstensif untuk dapat dijelaskan sebagai kelupaan biasa.
2. Episode-episode itu tidak terhubung dengan suatu kondisi medis, efek-efek psikologis dari suatu substansi( misalnya obat yang disalahgunakan) atau dari suatu gangguan psikologis yang berbeda.
3. Ketidakmampuan untukmengingat penyebab-penybab yang secara klinis significant bagi terjadinya distress atau daya ingat dalam menjalani fungsinya.
3. Dissociative Fugue (Fugue disosiative)
Fugue berasal dari bahasa latin fugere, yang berarti melarikan diri, fugue sama dengan amnesia” dalam pelarian”. Dalam fugue dissosiative memori yang hilang lebih luas dari pada amnesia dissosiative, individu tidak hanya kehilangan seluruh ingatanya ( misalnya nama, keluarga atau pekerjaanya), mereka secara mendadak meninggalkan rumah dan pekerjaanya serta memiliki identitas yang baru namun mereka mampu membentuk hubungan sosial yang baik dengan lingkungan yang baru. Gangguan ini muncul sesudah individu mengalami stress atau konflik yang berat,misalnya
pertengkaran rumah tangga, mengalami penolakan, kesulitan dalam pekerjaan dan keuangan, perang atau bencana alam . ciri-ciri Dissociative Fugue antara lain:
1. Pergi jauh dari rumah atau tempat kerja secara tiba-tiba dan tidak mampu mengingat masa lalunya.
2. Bingung terhadap identitas pribadi atau mendapatkan identitas baru secara persial atau total.
3. Gangguan tidak terjadi secara eksklusif selama berlangsungnya gangguan identitas dissosiative, dan bukan disebabkan oleh substansi tertentu atau kondisi medis secara umum.
4. Gangguan menyebabkan distress atau daya ingat significant untuk berfungsi secara normal.
4. Depersonalization Disorder (Gangguan Depersonalisasi)
Depersonal Disorder adalah gangguan dissosiative dimana perasaan dipersonalisasinya begitu berat hingga mendominasi kehidupan klien dan membuatnya tidak dapat berfungsi secara normal . Gangguan ini mencakup kehilangan atau perubahan temporer dalam perasaan yang biasa mengenai realitas diri sendiri, jadi orang merasa terpisah dari dirinya sendiri dan lingkungannya, kadangkala mereka berfikir dirinya robot, merasa dirinya sedang bermimpi atau terpisah dari tubuhnya, tetapi pada gangguan ini memori atau daya ingat individu tidak mengalami gangguan. Gangguan ini dapat disebabkan oleh masalah psikologis (stress yang berat), neurologist(merupakan gejala awal adanya masalah neorologis, seperti tumor otak atau epilepsy) dan penyakit sistematik( gangguan tiroid dan pankreas). Cirri- cirri gangguan depersonalisasi, antara lain:
1. Pengalaman yang berulang atau persisten dari depersonalisasi , yang ditandai oleh perasaan terpisah dari proses mental atau tubuh seseorang, seolah-olah seseorang menjadi pengamat luar dari dirinya sendiri. Pengalaman ini dapat memiliki karakteristik seperti mimpi.
2. Individu tersebut mampu mempertahankan pengujian realitas
3. (contohnya, membedakan kenyataan dari ketidaknyataan) saat keadaan depersonalisasi.4. Pengalaman depersonalisasi menyebabkan distress atau daya ingat pribadi yang signifikan pada satu atau lebih area fungsi yang penting seperti fungsi sosial atau pekerjaan.
5. Pengalaman dipersonalisasi tidak dapat dimasukkan kedalam gangguan lain atau tidak merupakan effek langsung dari obat-obatan, alcohol, atau kondisi medis.

C. Penanganan Gangguan Somatoform dan Gangguan Dissosiatif.
1. Gangguan Somatoform
Penanganan biasanya melibatkan terapi psikodinamika atau kognitif-behavioral.
• Penanganan Biomedis yakni penggunaan anti depresan yang terbatas dalam menangani hipokondreasis.
• Terapi kognitif Behavioral dapat berfungsi pada menghilangkan sumber-sumber reinforcement sekunder( keuntungan sekunder), memperbaiki perkembangan keterampilan coping untuk mengatasi stress dan memperbaiki keyakinan yang berlebihan atau terdistorsi mengenai kesehatan atau penampilan seeorang
• Terapi psikodinamika atau yang berorientasi terhadap pemahaman dapat ditujukan untuk mengidentifikasi dan mengenali konflik-konflik yang mendasarinya.
2. Gangguan dissosiatif
Gangguan identitas dissosiatif tetap merupakan tantangan bagi sejumlah penanganan; amnesia dissosiative dan fugue dissosiatif cenderung terselesaikan dengan sendirinya.
• Penanganan biomedis yakni terapi obat( tipe anti depresan-SSRI) dapat membantu menangani gangguan depersonalisasi.
• Terapi psokodinamika, untuk gangguan dissosiative. Terapi psokoanalistik dapat digunakan untuk mendapat integrasi kembali dari kepribadian.




Daftar Rujukan


Jeffrey S. Nevit A. Rhathus, Beverly Greene, Psikologi Abnormal, Ed.5, Jilid1, Erlangga, Jakarta, 2003
V. Mark D dan David HB, Intisari Psokologi Abnormal, ed. 4 Cet.1 Pustaka pelajar: Jogjakarta, 2006.
Fitri Fauziyah dan Julianti W., Psikologi Abnormal Klinis Dewasa, UII Press, Jakarta, 2007

Senin, 06 April 2009

TEORI STIMULUS RESPON

TEORI STIMULUS RESPON

JOHN DOLLARD DAN N.E. MILLER

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

“PSIKOLOGI KEPRIBADIAN II”

Oleh:

SITI KHOIRIYAH

B07206060

Dosen Pembimbing:

Drs. HAMIM ROSYIDI, M.Si

NIP. 150 231 821

PRODI PSIKOLOGI

FAKULTAS DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2008


BAB I

PENDAHULUAN

John Dollard dan Neil E. Miller keduanya mengabdi di Institute Of Human Relation, antara Dollard dan Neil E. Miller berbeda dalam mengambil suatu gagasan namun dengan pendekatan psikoanalisis antropologi dan sosial keduanya melakukan sebuah gagasan teori yang nantinya sangat berpengaruh di bidang psikologi yang dikenal dengan stimulus response theori yang berkaitan dengan teori belajar.

Dari teori yang diketemukan oleh Dollard dan Miller bahwa mereka beranggapan bahwa Habit atau kebiasaan merupakan salah satu elemen dalam struktur kepribadian, kemudian bagaimana Dollard dan Miller menjelaskan dinamika kepribadian perkembangan kepribadian serta tingkah laku abnormal.

Dari paparan di atas pemakalah juga menyajikan Teori Dollard-Miller dalam Prespektif Islam. Pemakalah memberi judul Teori Stimulus Respon Dollard – Miller.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Dollard dan Neil E. Miller

2.1. Biografi John Dollard

John Dollard dilahirkan di Menasha, Wisconsin, pada tanggal 29 Agustus 1900. Ia menerima gelar A.B. dari Universitas Wisconsin pada tahun 1922 dan berturut-turut meraih M.A. (1930) dan Ph.D.-nya (1931) dalam bidang sosiologi di Universitas Chicago. Dari tahun 1926 sampai de­ngan 1929 la menjadi salah seorang pem­bantu rektor Universitas Chicago.

Pada tahun 1932 ia menerima jabatan rektor di bidang antropologi di Universitas Yale dan pada tahun berikutnya menjadi lektor di bidang sosiologi pada Institut of Human Relations yang baru saja didirikan. Pada tahun 1935, ia menjadi peneliti pada institut tersebut dan pada tahun 1948 menjadi peneliti dan profesor di bidang psikologi. Ia dipensiunkan sebagai profesor pada tahun 1969. Ia memperoleh pendidikan dalam psikoanalisis dari Institut Berlin dan menjadi anggota dari Western New England Psychoanalytic Society. Ke­yakinan Dollard dan dedikasi pribadinya terhadap penyatuan ilmu-ilmu pengetahuan sosial tercermin tidak hanya dalam tu­lisan-tulisannya tetapi juga dalam fakta bahwa ia pernah meng­emban tugas-tugas akademik di bidang antropologi, sosiologi, dan psikologi pada satu universitas. Perlu dicatat bahwa kegiat­an interdisiplinernya ini berlangsung di masa masing-masing disiplin kurang begitu menyukai integrasi dibandingkan dengan masa sekarang. Dollard telah menulis banyak artikel teknis da­lam ilmu-ilmu pengetahuan sosial mulai dari etnologi sampai psikoterapi. Ia telah mengarang sejumlah buku yang juga mencer­minkan minatnya yang luas itu. Caste and class in a Southern town (1937) adalah suatu penelitian lapangan yang sangat di­hargai mengenai peranan orang-orang kulit hitam dalam suatu masyarakat di bagian selatan di AS dan merupakan salah satu contoh karya awal analisis kebudayaan dan kepribadian. Karya ini disusul oleh sebuah buku serupa, Children of bondage (1940), yang ditulis bersama Allison Davis. Ia menerbitkan dua buku berisi analisis psikologis tentang rasa takut: Victory over fear (1942) dan Fear in battle (1943); dan suatu monograf penting mengenai penggunaan bahan sejarah kehidupan, Criteria for the life history (1936). Bersama Frank Auld dan Alice White ia menerbitkan Steps in psychotherapy (1953), sebuah buku yang menyajikan suatu metode psikoterapi yang mencakup pendes­kripsian yang rinci tentang individu yang sedang dalam pera­watan, dan bersama Frank Auld menerbitkan Scoring human motives (1959).[1]

2.2. Biografi Neil E. Miller

Neil A. Miller, yang lahir pada tahun 1920, memulai kariernya di kampus sebagai pembicara dan mengampu mata pelajaran Bahasa Inggris. Tahun 1941, dia menerima gelar masternya dari University of Alabama. : Sedangkan pada tahun 1946, dia menerima gelar Ph.D-nya dari Harvard dan mulai belajar psikolinguistik.

Tahun 1951, Miller memublikasikan buku pertamanya, berjudul "Language and Communication". Di dalam buku tersebut, dia berargumen bahwa tradisi behavioris tidaklah men­cukupi untuk menanggung beban da­lam menerangkan bahasa.

Miller menulis karya paling terkenalnya pada tahun 1956: "The Magical Number Seven, Plus or Minus Two: Some Limits on Our Capacity for Processing Information". Di dalam karya tersebut, dia menerangkan bahwa memori berjangka pendek hanya bisa mempertahankan sekitar tujuh batang yang disebut potongan-potongan (chunks) - informasi: Tujuh kata, tujuh angka, tujuh wajah, dan dalam hal apa pun. Inilah yang masih dianggap akurat sampai sekarang.

Tahun 1960, Miller mendirikan Center for Cognitive Studies di Harvard bersama developmentalis kognitifis terkenal, Jerome Bruner. Pada tahun yang sama, dia memublikasikan "Plans and the Structure of Beharrtor" (bersama Eugene Galanter dan Karl Pribram, 1960), yang mengerangkakan konsepsi me­reka tentang psikologi kognitif. Keduanya menggunakan kom­puter sebagai model pembelajaran mereka terhadap manusia, dan menggunakan analogi-analogi seperti itu sebagai cara untuk memproses informasi, mengodekannya, dan cara men­dapatkan kembali informasi tersebut. Miller beranjak begitu jauh dalam mendefinisikan psikologi sebagai kajian pikiran, seperti yang telah sebelumnya didefinisikan ulang oleh para behavioris tentang psikologi sebagai kajian perilaku.[2]

Neal E. Miller dilahirkan di Milwau­kee, Wisconsin, pada tanggal 3 Agustus 1909 dan meraih gelar B.S.-nya dari Universitas Washington pada tahun 1931. Ia meraih gelar M,.A.-nya dari Universitas Stanford pada tahun 1932 dan Ph.D.-nya di bidang psikologi dari Universitas Yale pada tahun 1935. Dari tahun 1932 sampai dengan tahun 1935 ia menjadi asisten di bidang Psikologi pada Institute of Human Relations dan antara tahun 1935-1936 ia mendapat bersiswa dari Social Science Researc Council dan memanfaatkannya untuk mengikuti pendidikan analisis pada Institut Psikoanalisis Wina. Dari tahun 1936 sampai tahun 1940, menjadi asisten dosen dan selanjutnya lektor pada Institute of Human Relations. Ia menjadi peneliti dan lektor pada tahun 1941. Dari tahun 1942 sampai tahun 1946, ia memimpin suatu proyek penelitian psikologi untuk Angkatan Udara AS. Pada tahun 1946, ia kembali ke Universitas Yale, menjadi profesor dalam program kuliah James Rowland Angell di bidang psikologi pada tahun 1952. Ia menetap di Yale sampai tahun 1966n dan selanjutnya menjadi profesor psikologi dan kepala Laboratorium Psikologi Fisiologis pada Universitas Rockefeller. Selain karena kerjasamanya dengan John Dollard, Miller juga sangat terkenal di kalangan psikologi berkat karya eksperimental dan teoretisnya yang cermat tentang proses pemerolehan dorongan-dorongan, hakikat perkuatan, dan penelitian tentang konflik. Penelitian awalnya semata-mata bersiifat behavioral, tetapi sejak tahun 1950-an Miller mulai menaruh perhatian pada mekanisme-­mekanisme fisiologis yang mendasari dorongan dan perkuatan serta gejala-gejala sejenis lainnya. Karya ini disajikan secara rinci dalam terbitan-terbitan jurnal, meskipun banyak di anta­ranya telah pula diringkaskan dalam tiga bab buku pegangan yang sangat elok (Miller, 1944, 1951a, 1959). Penghargaan atas sumbangan-sumbangannya tercermin pada berbagai tanda jasa yang diterimanya. Ini meliputi keanggotaannya dalam National Academy of Science yang bergengsi itu, terpilih menjadi ketua American Psychological Association (1959), menerima medali Warren dari Society of Experimental Psychologist (1957), dan menerima Medal of Science dari Presiden (1965), suatu tanda kehormatan yang hanya dimilikinya bersama dua ilmuwan behavioral lain.

Pada tahun 1959 beberapa anggota staf Institute of Human Relations, termasuk Dollard dan Miller, menerbitkan suatu monograf berjudul Frustration and aggression (1939). Karya ini merupakan suatu contoh awal dan menarik bentuk penerapan yang akan kita bicarakan dalam bab ini. Para penulis berusaha menganalisis frustasi dan akibatnya menurut konsep S-R. Dalam monograf tersebut, mereka menyajikan suatu perumusan yang sistematis tentang pendirian teoretik ini, dilengkapi dengan sejumlah besar penelitian dan prediksi tentang peristiwa-peris­tiwa yang masih harus diobservasi. Karya ini tidak hanya memberi ilustrasi tentang integrasi antara konsep S-R, perumusan psikoanalitik, dan bukti-bukti antropologis, tetapi juga memberi­kan bukti tentang keberhasilan perpaduan ini, karena telah mendorong banyak penelitian empiris serupa. Miller dan Dol­lard bersama-sama telah menulis dua buku yang berisi penerapan versi yang disederhanakan dari teori Hull pada masalah-masalah yang menjadi garapan psikolog sosial (Social leraning and imitation, 1941) dan pada masalah-masalah yang menjadi perhatian psikolog klinis atau psikolog kepribadian (Personality and psychotherapy, 1950).[3]

B. Latar Belakang Teori Dollard – Miller

Teori ini merupakan hasil usaha dua orang yang sangat piawai dalam soal penelitian laboratorium maupun penelitian klinis, untuk memodifikasikan dan menyederhanakan teori perkuatan Hull sehingga dapat digunakan dengan mudah dan efektif untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa yang menjadi perhatian utama para psikolog sosial dan klinis. Detil-detil teori ini terbentuk bukan hanya bertolak dari perumusan-perumusan Hull tetapi juga dari teori psikoanalitis serta temuan-temuan dan generali­sasi-generalisasi dari antropologi sosial. Seperti akan kita lihat, konsep kebiasaan, yang menggambarkan suatu hubungan S-R yang stabil, menempati posisi penting dalam teori ini. Sesung­guhnya, sebagian terbesar dari teori ini menyangkut penetapan kondisi-kondisi spesifik di mana aneka kebiasaan terbentuk dan menghilang. Sejumlah kecil konsep yang digunakan untuk mak­sud ini telah dimanfaatkan dengan amat cerdik oleh para penulis tersebut untuk menerangkan gejala-gejala yang menjadi pusat perhatian para klinikus, misalnya, represi, pemindahan (displa­cement), dan konflik. Pada berbagai kesempatan mereka telah berusaha menarik dart tulisan-tulisan psikoanalitik dan obser­vasi klinis pengertian-pengertian penting mengenai tingkah la­ku yang selanjutnya mereka gabungkan dengan konsep-konsep S-R mereka. Maka, sebagian besar penerapan teorinya berupa penerjemahan hasil observasi umum, atau perumusan teoretis yang kabur, ke dalam istilah-istilah teori S-R yang lebih lugas, objektif. Meskipun penerjemahan itu sendiri bukan merupakan tujuan yang sangat penting, usaha ini seringkali membuka jalan ke arah wawasan-wawasan dan prediksi-prediksi baru menge­nai peristiwa-peristiwa empiris yang tidak teramati, dan fungsi­-fungsi ini merupakan sumbangan teoretis yang paling berharga.[4]

Inti teori mereka merupakan suatu deskripsi tentang proses belajar. Prinsip-prinsip belajar yang diterapkan oleh Dollard dan Miller dalam kehidupan sehari-hari ditemukan dalam peneliti­an-penelitian laboratorium yang terkontrol yang umumnya menggunakan binatang-binatang sebagai subjek. Karena itu, pengetahuan tentang prinsip-prinsip laboratorium dan juga ten­tang pengertian teoretis tertentu mengenai prinsip-prinsip laboratorium-, sangat penting untuk memahami teori kepribadian mereka.[5]

C. Struktur Kepribadian

Kebiasaan (habit) adalah satu-satunya elemen dalam Teori Dollard dan Miller yang memiliki sifat struktural. Habit adalah ikatan atau asosiasi antara stimulus dengan respon, yang relatif stabil dan bertahan lama dalam kepribadian. Karena itu gambaran kebiasaan seseorang tergantung pada event khas yang menjadi pengalamannya. Namun susunan kebiasaan itu bersifat sementara. Dollard & Miller menyerahkan kepada ahli lain rincian perangkat habit tertentu yang mungkin menjadi ciri seseorang, karena mereka lebih memusatkan bahasannya mengenai proses belajar, bukan kepemilikan atau hasilnya. Namun mereka menganggap penting kelompok habit dalam bentuk stimulus verbal atau kata-kata - dari orang itu sendiri atau dari orang lain, dan responnya yang umumnya juga berbentuk verbal.

Dollard dan Miller juga mempertimbangkan dorongan sekunder (secondary drives), seperti rasa takut sebagai bagian kepribadian yang relatif stabil. Dorongan primer (Primary drive.) dan hubungan S-R yang bersifat bawaan (innate) juga menyumbang struktur kepribadian, walaupun-kurang penting dibanding habit dan dorongan sekunder, karena dorongan primer dan hubungan S-R bawaan ini menentukan taraf umum seseorang, bukan membuat seseorang menjadi unik.[6]

Dalam eksperimen hipotesis yang dilakukan oleh Miller dengan subyek tikus laboratorium menggunakan sebuah kotak persegi dengan lantai berjaringan kabel listrik. Kotak tersebut dibagi menjadi dua ruang dengan sekat sebagai pagar yang digunakan untuk lompat tikus dengan sebuah bel listrik yang dibunyikan bersamaan dengan dialiri arus listrik.

Dari eksperimen yang dilakukan oleh Miller ini akan memunculkan sesuatu yang berupa dorongan habit dalam teorinya.

Dorongan adalah konsep motivasional dalam sistem Hullian dan dipandang berfungsi membangkitkan tingkah laku tetapi ti­dak menetapkan arahnya. Pada contoh ini, dorongannya bersifat bawaan atau primer, berdasarkan rasa sakit. Tentu saja, masih ada sejumlah dorongan primer (primary drives) selain rasa sakit, seperti rasa lapar, haus, dan seks. Contoh-contoh terakhir, ber­beda dengan rasa sakit, merupakan keadaan-keadaan deprivasi atau kekurangan akibat tertahannya sejenis stimulus tertentu, seperti makanan, dan akan direduksikan dengan memberi organisme stimulus yang tepat, bukan dengan menghilangkan stimulasi yang bersifat membahayakan.

Berikut Skema Teori Miller:

Analisis teoritis tentang proses-proses yang terlibat

dalam pengondisian klasik suatu respon emosional

berdasarkan rasa sakit

ST kejutan r emos SD (dorongan) Remos

Kebiasaan

SKbel

Sebenarnya, Miller mengajukan dalil bahwa setiap stimulus internal atau eksternal, jika cukup kuat, mampu__ membangkitkan suatu _dorongan dan memicu tindakan. Seperti tersirat dalam pernyataan ini, dorongan-dorongan memiliki kekuatan yang berbeda-beda, dan makin kuat dorongan itu maka makin berse­mangat atau makin tahan uji juga tingkah laku yang digerakkannya. Dalam eksperimen kita, misalnya, kekuatan tingkah laku emosionalnya yang dapat diamati yang terjadi dalam diri para subjek sebagai respon terhadap ST dan kemudian, kekuatan respon melompati penyekat yang dipelajari dipengaruhi oleh tingkat kejutan yang diberikan.

Mula-mula bunyi bel listrik itu sama sekali tidak mampu membangkitkan tingkah laku-tingkah laku emosional berkaitan dengan kejutan. Tetapi setelah bunyi bel dan kejutan berulangkali diberikan, maka bel tersebut mendapatkan kapasitas untuk membangkitkan remos internal serupa dengan yang aslinya ditim­bulkan oleh ST yang menyakitkan; suatu respon terkondisi (RK) telah diperoleh. Dalam sistem Hullian yang digunakan oleh Dollard dan Miller, belajar digambarkan sebagai pembentukan hubungan asosiatif antara stimulus terkondisi (bunyi bel) dan respon (remos) dan digambarkan dengan konsep teoretis, kebiasaan (habit). Sebagaimana akan dibahas secara lebih rinci sebentar lagi, Hull mengemukakan dalil bahwa supaya terbentuk kebiasaan, selain stimulus dan respon harus terjadi secara berdekatan dalam hal waktu dan ruang, maka respon tersebut juga harus disertai dengan perkuatan atau hadiah. Apabila kondisi terakhir terpenuhi, maka kekuatan kebiasaan S-R akan meningkat sejalan dengan jumlah kali stimulus dan responnya terjadi bersama-sama.

Penyajian bunyi bel dan kejutan secara berulang-ulang pada sesi pertama percobaan kita disertai terhindarnya subjek dari kejutan yang berfungsi sebagai pemerkuat adalah cukup untuk membentuk kebiasaan yang relatif kuat. Segera setelah remos yang terkondisi secara klasik terbentuk, maka penyajian bunyi belnya sendiri tidak hanya membangkitkan remos, tetapi juga memicu rangkaian peristiwa selanjutnya yang aslinya terkait dengan penyajian kejutan. Jadi, pola khusus stimulasi internal SD akan dibangkitkan dan dikombinasikan dengan bunyi bel, ia akan berperan sebagai isyarat untuk membangkitkan tingkah laku terbuka yang sama seperti yang sebelumnya dibangkitkan oleh kejutan. Selanjutnya, respon-respon yang bisa diamati ini digerakkan atau digiatkan oleh sifat-sifat dorongan yang ter­dapat pada SD. Karena dorongan ini dibangkitkan oleh respon yang dipelajari terhadap stimulus yang sebelumnya netral, ma­ka dorongan itu dikenal sebagai dorongan yang diperoleh atau dorongan sekunder (secondary drive), berbeda dengan dorongan primer (primary drive) yang dibangkitkan oleh respon-respon terhadap stimulasi yang menyakitkan.

Untuk membedakan rangkaian remos -----> SD Yang di­bangkitkan oleh kejutan dari rangkaian yang terkondisi secara klasik yang dibangkitkan oleh bunyi bel, maka yang terakhir ini diberi sebutan khusus: kecemasan atau rasa takut.[7]

Dollard dan Miller kurang menaruh minat pada unsur-un­sur struktural atau unsur-unsur yang relatif tak berubah dalam kepribadian. Secara konsisten mereka lebih berminat pada proses belajar dan perkembangan kepribadian. Tanpa menekankan aspek-aspek struktural itu, konsep-konsep manakah yang mereka gunakan untuk menggambarkan sifat-sifat stabil dan menetap pada individu? Kebiasaan adalah konsep kunci dalam teori be­lajar yang dianut Dollard dan Miller.

Telah kita ketahui, suatu kebiasaan adalah pertautan atau asosiasi antara suatu stimulus (isyarat) dan suatu respon. Asosi­asi-asosiasi yang dipelajari atau kebiasaan-kebiasaan bisa terbentuk tidak hanya antara stimulus-stimulus eksternal dan respon-respon terbuka, tetapi juga antara stimulus-stimulus dan respon-respon internal. Bagian terbesar teori mereka adalah mengenai penetapan kondisi-kondisi dalam mana kebiasaan­-kebiasaan diperoleh dan dihapus atau diganti, dan hanya sedikit atau sama sekali tidak menyinggung penggolongan kebiasaan-­kebiasaan atau penyusunan daftar aneka-ragam kebiasaan penting yang diperlihatkan orang-orang.

Meskipun kepribadian terutama terdiri dari kebiasaan-ke­biasaan, namun struktur khusus kebiasaan-kebiasaan itu akan tergantung pada peristiwa-peristiwa unik yang pernah dialami oleh individu yang bersangkutan. Selanjutnya, struktur ini hanya bersifat sementara kebiasaan-kebiasaan seseorang hari ini da­pat berubah sebagai akibat dari pengalaman-pengalaman yang diperolehnya keesokan harinya. Dollard dan Miller merasa cutup menentukan prinsip-prinsip yang mengatur pembentukan ke­biasaan dan menyerahkan kepada masing-masing klinikus atau peneliti tugas untuk menentukan kebiasaan-kebiasaan khas orang-seorang. Akan tetapi, mereka berusaha menekankan de­ngan panjang lebar bahwa segolongan kebiasaan-kebiasaan yang penting bagi manusia dihasilkan oleh stimulus-stimulus verbal, apakah stimulus-stimulus itu dihasilkan oleh orang-orang itu sendiri atau oleh orang lain, dan bahwa respon-responnya seringkali juga bersifat verbal.

Sejumlah kebiasaan dapat meli­batkan respon-respon internal yang pada gilirannya membang­kitkan stimulus-stimulus internal yang memiliki sifat-sifat dorongan. (Kita telah memeriksa rasa takut sebagai salah satu contoh dorongan yang dihasilkan oleh respon dan yang bersifat dipelajari.) Dorongan-dorongan sekunder ini juga harus dipan­dang sebagai bagian-bagian kepribadian yang bersifat menetap. Dorongan-dorongan primer dan hubungan-hubungan S-R bawaan juga merupakan unsur bagi pembentukan struktur kepribadian. Akan tetapi, dorongan-dorongan primer dan hubungan-hubungan bawaan itu selain kurang penting dalam tingkah laku manusia dibandingkan dengan dorongan-dorongan sekunder dan jenis-jenis kebiasaan lainnya, juga menentukan sifat-sifat yang sama-sama dimiliki oleh semua individu sebagai anggota spesies yang sama, dan bukannya menentukan keunikan mereka.[8]

D. Dinamika Kepribadian

Dollard dan Miller sangat eksplisit dalam mendefinisikan sifat motivasi, dan mereka menguraikan secara sangat rinci perkembangan dan perluasan motif-motif; tetapi sekali lagi, mereka tidak tertarik pada taksonomi dan klasifikasi. Malahan mereka telah berfokus pada motif-motif penting tertentu, seperti kecemasan. Dalam analisis mereka mengenai motif-motif ini, mereka berusaha menjelaskan proses umum yang berlaku un­tuk semua motif.

Pengaruh dorongan-dorongan pada subjek manusia dibuat rumit oleh munculnya sejumlah besar dorongan baru hasil penu­runan ataupun pemerolehan. Selama proses pertumbuhan, ma sing-masing individu mengembangkan sejumlah besar dorong­an sekunder yang tugasnya membangkitkan tingkah laku.

Dalam masyarakat modern, stimulasi dorongan sekunder umumnya telah menggantikan fungsi asli stimulasi dorongan primer. Dorongan-dorongan yang diperoleh, seperti kecemasan, rasa malu, dan keinginan untuk menyenangkan orang lain, men­dorong sebagian terbesar perbuatan kita. Implikasinya, peranan dorongan-dorongan primer dalam kebanyakan hal tidak lagi bisa diobservasi dalam situasi biasa pada seorang dewasa yang memasyarakat. Hanya dalam proses perkembangan, atau pada masa-masa krisis (gaga1 mengikuti cara-cara adaptasi yang ditentukan oleh kebudayaan) orang dapat mengamati dengan jelas bekerjanya dorongan-dorongan primer tersebut.

Kiranya juga jelas bahwa kebanyakan perkuatan dalam kehidupan sehari-hari subjek manusia tidak berupa hadiah-­hadiah primer. Melainkan berupa peristiwa-peristiwa yang mulanya netral namun kemudian memiliki nilai hadiah karena terus-menerus dialami bersamaan dengan perkuatan primer. Senyuman seorang ibu, misalnya; menjadi suatu hadiah yang diperoleh atau hadiah sekunder yang sangat berpengaruh bagi bayi karena terus-menerus diasosiasikan dengan pemberian makan, popok, dan bentuk-bentuk tindakan pemeliharaan lain yang sifatnya mendatangkan rasa nikmat atau menghilangkan ketaknyamanan fisik. Hadiah-hadiah sekunder sering dengan sendirinya mampu memperkuat tingkah laku. Akan tetapi kapa­sitasnya untuk memperkuat bukan tak terbatas, kecuali jika hadiah-hadiah sekunder tersebut kadang-kadang tetap terjadi bersamaan dengan perkuatan primer. Pertanyaan tentang proses terjadinya perubahan-perubahan ini mengantar kita pada per­soalan yang lebih luas tentang perkembangan kepribadian.[9]

1. Motifasi Dorongan

Dollard dan Miller memperhatikan motivasi dorongan (drive). Dalam kehidupan manusia banyak muncul dorongan yang dipelajari (secondary drive) berdasarkan dorongan primer seperti makan, lapar, haus dan seks. Dengan yang dipelajari berperan sebagai wajah semu fungsinya menyembunyikan dorongan bawaan. Dollard-Miller mengemukakan bahwa bukan hanya dorongan primer yang diganti oleh dorongan sekunder, tetapi penguat (hadiah) yang primer dapat diganti dengan penguat sekunder.[10]

2. Proses Belajar

Dollard-Miller melakukan eksperimen rasa takut terhadap tikus. Dengan eksperimen tersebut mendemonstrasikan beberapa prinsip belajar yaitu:

a. Classical conditioning (terkondisi merespon stimulus)

b. Instrumental learning (belajar merespon) menghindari rasa sakit.

c. Extinction (tingkah laku menghindar)

d. Primary drive (tertekan) muncul learned (secondary drive) atau rasa takut kemudian memotivasi tingkah laku.

Dari eksperimen tersebut dapat disimpulkan bahwa orang bisa belajar harus adanya keinginan (want something), mengenali sesuatu (notice something, mengerjakan do something), dan mendapat sesuatu (get something), sehingga muncul empat komponen utama belajar, yakni:

a. Drive stimulus yang mendorong terjadinya kegiatan

b. Cue adalah stimulus yang memberi petunjuk perlunya dilakukan kesopanan yang sesungguhnya.

c. Response adalah aktivitas yang dilakukan seseorang

d. Reinforcement adalah hadiah sebagai drive pereda dorongan agar belajar bisa terjadi.[11]

3. Proses Mental yang Lebih Tinggi

a. Perluasan stimulus respon (teori belajar tidak hanya menjelaskan tingkah laku yang sederhana, tetapi juga hal-hal yang makna dan terapan berkaitan dengan persoalan kepribadian yang komplek.

b. Generalisasi stimulus yakni respon yang dipelajari dalam kaitannya dengan suatu stimulus, dapat dipakai untuk menjawab stimulus lain yang bentuk atau wujud fisiknya mirip.

c. Reasoning merupakan pengganti perbuatan nyata menjadi cue producing. Response internal yang lebih efisien untuk memecahkan masalah dari pada berbuat mencoba-coba.

d. Bahasa, merupakan respon isyarat yang penting sesudah reasoning

e. Scondary drive

Tingkah laku tidak semata-mata diatur oleh penguat primer, karena cue sering berasosiasi dengan kepuasan dorongan primer dapat menjadi reinforcement sekunder. Umumnya drive skunder bersifat renta, jika drive berulang kali gagal mendapat reinforcement maka drive menjadi lemah.[12]

E. Perkembangan Kepribadian

1. Perangkat innate (respon sederhana dan primary process)

Perubahan dari bayi yang sederhana menjadi dewasa, menurut Dollard-Miller bayi memiliki juga keperkir primitive antara lain:

a. Reflek spesifik

b. Respon bawaan hirarkis

c. Dorongan primer

d. Konteks sosial

2. Konteks sosial

Dillard-Miler menekankan saling ketergantungan antara tingkah laku dengan lingkungan sosio kultural.

3. Training situation

Analisis Dollard-Miller situasi pada bayi banyak memakai formulasi Freud, yakni:

a. Feeding situation

b. Cleanliness-training

c. Early Sec training

d. Anger-anxiety.[13]

F. Tingkah Laku Abnormal

Formulasi tingkah laku konflik menurut Dollard-Miller bahwa konflik yang parah mendasari tingkah laku menyedihkan dan symptom neurotic, karena konflik membuat orang tidak dapat merespon yang secara normal dapat meredam drives yang tinggi. Ada tiga bentuk konflik, yakni:

1. Konflik approach-avoidance

2. Konflik approach-approach

3. Konflik yang mengikuti lima asumsi dasar mengenai tingkah laku:

a. Kecenderungan mendekat (gradient of approach)

b. Kecenderungan menghindar (gradien of avoidance)

c. Peningkatan gradient of avoidance

d. Meningkatkan dorongan berkaitan meningkatkan gradient.

e. Manakah ada dua respon bersaing yang lebih kuat akan terjadi.[14]

G. Teori Dollard-Miller dalam Perspektif Islam

Teori Dollard-Miller jika dilihat dalam perspektif Islam yakni dinamika kepribadian adanya suatu potensi kehidupan (thaqatun hayawiyatun) merupakan kekuatan pendorong bagi dinamika gerak manusia dan penjamin eksistensinya dalam kehidupan potensi. Kehidupan dimaksud ada dua macam: (1) kebutuhan-kebutuhan jasmani (al-hajatul aludhiwyah) dan (2) naluri-naluri (al-gharaiz)

Kebutuhan jasmani merupakan kebutuhan yang terkait dengan kenyataan bahwa manusia adalah makhluk hidup yang memerlukan terus-menerus pasokan energi dan kondisi tertentu bagi kelangsungan kehidupan.

Kebutuhan jasmani mempunyai dua karakter yang khas:

1. Pemuasan bersifat harus, jika tidak jiwa akan terancam atau mati (makan, minum, buang hajat, bernafas).

2. Stimulus (rangsangan) yang membangkitkan adanya kebutuhan internal (manusia merasa butuh makan karena lapar).

Adanya kebutuhan jasmani pada diri manusia dapat dirasakan langsung tiap orang. Allah berfirman: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu diwaktu malam dan siang hari, dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya, sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang yang mendengar.” (QS. Ar-Ruum: 23)

Allah juga berfirman:

“Orang ini tidak lain hanyalah manusia biasa seperti kamu, dia makan dari apa yang kamu makan, dan minum dari apa yang kamu minum” (QS. Al-Mu’minun: 33)

Naluri adalah potensi di dalam diri manusia yang mendorong manusia untuk cenderung kepada sesuatu, atau meninggalkan sesuatu naluri adalah sesuatu yang substansinya tidak dapat diindera namun dapat terindra hanya manifestasi yang muncul dari naluri-naluri.[15]

Penulis lebih condong bahwa dengan adanya kebutuhan-kebutuhan jasmani dan naluri bahwa kepribadian itu terbentuk oleh aqliyah (pola pikir), dan nafsiyah (pola sikap). Aqliyah (pola pikir) adalah cara yang digunakan untuk memikirkan sesuatu, sedang nafsiyah adalah cara yang digunakan seseorang untuk memenuhi tuntutan ghorizah dan Hajatul Al-Adawiyah yakni upaya memenuhi berdasarkan kaidah yang diimani dan diyakini.[16]


BAB III

KESIMPULAN

Teori Dollard-Miler mengenai bentuk sederhana dalam teori belajar adalah mempelajari keadaan di mana terjadi hubungan antara respon dan cue stimulusnya.

Teori Dollard-Miller biasanya disebut dengan teori stimulus respon. Walaupun jika dicermati dari biografi antara John Dollar dan Neal E Miller terdapat perbedaan yang dalam hal ini mengenai gagasan kedua tokoh tersebut. Miller menyajikan suatu gagasan dan temaun-temuan penting dalam psikologi eksperimental, sedangkan Dollard memberikan sumbangan penting dalam bidang antropologi dan sosiologi. Walaupun demikian, keduanya sangat dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman di Institute of Human Relations.

Dengan prinsip-prinsip asosiasi, ganjaran (reinforcement menjadi penting dalam hal analisis kepribadian dan sosial kultural.

Dengan teori Dollard-Miller dapat menjelaskan, antara lain:

3. Struktur kepribadian

4. Dinamika kepribadian yang mempengaruhi:

b. Motivasi

c. Proses belajar

d. Proses mental yang lebih tinggi

e. Secondary drive

3. Perkembangan kepribadian, yakni:

a. Perangkat lunak

b. Konteks sosial

c. situation

4. Tingkah laku abnormal (penyimpangan-penyimpangan yang terjadi)

5. Bagaimana Islam mengkritisi teori Dollar-Miller.

DAFTAR RUJUKAN

Alwisol, Psikologi Kepribadian, Malang: UMM Press, 2004

A. Supartiknya, (Calvin, S. Hall), Teori-teori Sifat dan Behavioristik, Yogyakarta, IKAPI-KANISIUS, 1998.

George Georee, Sejarah Psikologi, Yogyakarta: Primasophie, 2005.

Ismail Yusanto dan Sigit P. Membangun Kepribadian Islam, Jakarta: Khoirul Bayan press, 2005.

HTI, (terj, Yasin), Pilar-pilar Pengokoh Nafsiyah Islamiyah Jakarta: HTI Press, 2008.

Training TIM BKLDK, Mafahim BKLDK.Malang:UNM Press,2006

Hafidz Abdurrahman, Islam Politik Spiritual, Bogor:al Azhar Press, 2004

Muh Ismail, Bunga Rampai Pemikiran islam, Jakarta:Gema Insani Press, 2006



[1] A. Supratiknya, Teori-teori Sifat dan Behavioristik (Yogyakarta: IKAPI Kanisius, 1998), hal. 206-207

[2] George Georee, Sejarah Psikologi (Yogyakarta: Primasopthie, 2005), hal. 487-488

[3] A. Supratiknya, Op.cit, hal. 207-208

[4] A. Supratiknya, Op.cit. hal. 204-205

[5] Ibid, hal. 208-209

[6] Alwisol, Psikologi Kepribadian (Malang: UMM Press, 2004), hal. 401-402

[7] A. Supratiknya, Op.cit. hal. 211-213.

[8] A. Supratiknya, Ibid. hal. 220-221

[9] Ibid, hal. 221-222

[10] George Georee, Op.cit. hal. 402.

[11] Ibid, hal. 402-405

[12] Ibid, hal. 406-408.

[13] Ibid, hal. 410-413

[14] Ibid, hal. 408-409.

[15] Ismail Yusanto dan Sigit P. Membangun Kepribadian Islam (Jakarta: Khoirul Bayan Press, 2005), hal. 14-16.

[16] Hizbut Tahrir (terjemah Yasin) Pilar-pilar Pengokoh Nafsiyah Islamiyah (Jakarta: HTI Press, 2008), hal. 9-10