Rabu, 08 April 2009

Gangguan somatoform dan Disosiatif

Gangguan Somatoform
Kata somatoform diambil dari bahasa Yunani soma, yang berarti “tubuh”. Gangguan Somatoform merupakan suatu kelompok gangguan yang ditandai oleh keluhan tentang masalah atau simtom fisik yang tidak dapat dijelaskan oleh penyebab kerusakan fisik atau dengan kata lain gangguan ini muncul karena adanya kekhawatiran patologis seseorang terhadap penampilan atau fungsi tubuhnya, yang biasanya tanpa disertai oleh kondisi medic yang dapat diidentifikasi. Jadi Gangguan Somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang meliputi simtom fisik (misalnya : nyeri, mual, dan pening) dimana tidak dapat ditemukan penjelasan secara medik.
Berbagai simtom dan keluhan somatic tersebut cukup serius, sehingga menyebabkan stress emosional dan gangguan dalam kemampuan penderita untuk berfungsi dalam kehidupan sosial dan pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan somatoform mencerminkan penilaian klinis bahwa faktor psikologis adalah suatu penyumbang besar untuk keparahan dan durasi gejala.
DSM-IV menyebutkan lima gangguan somatoform dasar, yakni: Hypochondriasis, Somatization Disorder, Conversion Disorder, Pain Disorder, Body Dysmorphic Disorder. Pada masing-masing gangguan, individu secara patologis mengkhawatirkan penampilan atau fungsi tubuhnya.
1. HYPOCHONDRIASIS (Hipokondriasis)
Kata “Hypochondriasis” berasal dari istilah medic lama “hypochondrium”, yang berarti dibawah tulang rusuk, dan merefleksikan gangguan pada bagian perut yang sering dikeluhkan pasien hipokondriasis. Pada hipokondriasis ditandai dengan kecemasan atau ketakutan memiliki penyakit serius. Hipokondriasis merupakan hasil interpretasi pasien yang tidak realistis dan tidak akurat terhadap gejala somatic, sehingga menyebabkan ketakutan bahwa mereka memiliki gangguan yang parah (misalnya: Kanker atau masalah jantung), bahkan meskipun tidak ada penyebab medis yang ditemukan.

Rasa takut tetap ada walaupun telah diyakinkan medis bahwa ketakutan itu tidak berdasar. Pada umumnya pasien hipokondriasis mengalami ketidaknyamanan fisik, seringkali melibatkan system pencernaan atau campuran rasa sakit dan nyeri. Selain itu pasien ini juga sangat sensitif terhadap perubahan ringan dalam sensasi fisik, seperti perubahan dalam detak jantung dan sedikit sakit serta nyeri. Jadi Hipokondriasis adalah gangguan somatoform yang melibatkan kecemasan berat seseorang karena adanya keyakinan bahwa dirinya sedang mengalami proses penyakit tanpa adanya dasar fisik yang jelas. Ciri-ciri diagnostik dari hipokondriasis :
a. Orang tersebut terpaku pada ketakutan memiliki penyakit serius atau pada keyakinan bahwa dirinya memiliki penyakit serius. Orang tersebut menginterpretasikan sensasi tubuh atatu tanda-tanda fisik sebagai bukti dari penyakit fisiknya.
b. Ketakutan terhadap suatu penyakit fisik, atau keyakinan memiliki suatu penyakit fisik, yang tetap ada meski telah diyakinkan secara medis.
c. Keterpakuan tidak hanya pada intensitas khayalan (orang itu mengenali kemungkinan bahwa ketakutan dan keyakinan ini terlalu dibesar-besarkan atau tidak mendasar) dan tidak terbatas pada kekhawatiran pada penampilan.
d. Keterpakuan menyebabkan distress emosional yang signifikan atau mengganggu satu atau lebih area fungsi yang penting, seperti fungsi social atau pekerjaan.
e. Gangguan telah bertahan selama 6 bulan atatu lebih.
f. Keterpakuan tidak muncul secara eksklusif dalam konteks gangguan mental lain.

2. SOMATIZATION DISORDER (Gangguan Somatisasi)
Gangguan somatisasi, sebelumnya dikenal sebagai sindrom Briquet, yang mengacu pada nama dokter dari Perancis, Pierre Briquet yang pertama kali menjelaskan gangguan ini. Gangguan somatisasi adalah suatu tipe gangguan somatoform yang melibatkan berbagai keluhan yang muncul berulang-ulang, yang tidak dapat dijelaskan oleh penyebab fisik apapun. Gangguan ini meliki karakteristik dengan berbagai keluhan atau gejala somatic yang tidak dapat dijelaskan secara akurat dengan menggunakan hasil pemeriksaan fisik maupun laboratorium.
Keluhan-keluhan yang diutarakan biasanya mencakup system-sistem organ yang berbeda. Keluhan-keluhan itupun tampak meragukan dan dibesar-besarkan, dan orang itu sering kali menerima perawatan medis dari sejumlah dokter. Perbedaan gangguan
somatisasi dengan gangguan somatoform lainnya adalah banyaknya keluhan dan banyaknya system tubuh yang terpengaruh. Ciri-ciri gangguan somatisasi meliputi:
• Riwayat banyak keluhan fisik yang mulai muncul sebelum usia 30 tahun, yang berlangsung selama bertahun-tahun dan menyebabkan individu mencari penanganan untuk mengatasi masalahnya atau mengalami hendaya signifikan dibidang-bidang yang dianggap penting.
• Menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut:(1) Empat gejala fisik (nyeri) pada lokasi berbeda (misalnya kepala,pundak,lutut,kaki); (2) dua gejala gastrointestinal yang tidak menimbulkan nyeri (misalnya mual, diare, kembung); (3) satu gejala seksual (misalnya pendarahan menstruasi yang sangat banyak, disfungsi ereksi); (4) satu gejala pseudoneurologis (misalnya penglihatan ganda,gangguan koordinasi atatu keseimbangan, sulit menelan).
• Keluhan-keluhan fisik tidak dapat dijelaskan sepenuhnya berdasarkan kondisi medis secara umum atau berdasarkan efek substansi tertentu (misalnya efek obat atau penyalah gunaan obat) atau bila ada kondisi medis secara umum, keluhan fisik atau hendayanya melebihi perkiraan untuk kondisi medis tersebut.
• Keluhan atau daya ingat tidak dibuat secara sengaja atau pura-pura.

3. CONVERSION DISORDER (Gangguan Konversi)
Gangguan konversi adalah mal-fungsi fisik, seperti kebutaan atau kelumpuhan yang mengesankan adanya kerusakan neurologis, tetapi tidak ada patologi organic yang menyebabkan. Pada gangguan ini dicirikan oleh suatu perubahan besar dalam fungsi fisik atau hilangnya fungsi fisik, meski tidak ada temuan medis atau neurologi yang dapat ditemukan sebagai simtom atau kemunduran fisik tersebut. Gejala somatik ini biasanya timbul tiba-tiba dalam situasi yang penuh tekanan.
Gangguan konversi dinamakan demikian karena adanya keyakinan psikodinamika bahwa gangguan tersebut mencerminkan penyaluran, atau konversi, dari energy seksual atau agresif yang direpresikan ke simtom fisik. Pada masa lampau, konversi ini dikenal dengan istilah hysteria. Gangguan ini biasanya mulai pada masa remaja atau dewasa muda, terutama setelah mereka mengalami stress
dalam kehidupan. Prevalensinya sekitar 22 orang per 100.000 penduduk, dengan penderita perempuan 2 kali lebih banyak dibandingkan laki-laki.

Ciri-ciri Diagnostik dari Gangguan Konveksi :
a. Paling tidak terdapat satu simtom atau deficit yang melibatkan fungsi motoriknya volunter atau fungsi sensoris yang menunjukkan adanya gangguan fisik
b. Faktor psikologis dinilai berhubungan dengan gangguan tersebut karena onset atau kambuhnya simtom fisik terkait dengan munculnya stresor psikososial atau situasi konflik.
c. Orang tersebut tidak dengan sengaja menciptakan simtom fisik tersebut atau berpura-pura memilikinya dengan tujuan tertentu.
d. Simtom tidak dapat dijelaskan sebagai suatu ritual budaya atau pola respons, juga tidak dapat dijelaskan dengan gangguan fisik apapun melalui landasan pengujian yang tepat.
e. Simtom menyebabkan distres emosional yang berarti, hendaya dalam satu atau lebih area fungsi, seperti fungsi sosial atau pekerjaan, atau cukup untuk menjamin perhatian medis.
f. Simtom tidak terbatas pada keluhan nyeri atau masalah pada fungsi seksual, juga tidak dapat disebabkan oleh gangguan mental lain.
Freud mengemukakan bahwa terdapat empat proses dasar dalam pembentukan gangguan konveksi :
a. Individu mengalami peristiwa traumatik, hal ini oleh Freud dianggap awal munculnya beberapa konflik yang tidak diterima dan disadari.
b. Konflik dan kecemasan yang dihasilkan tidak dapat diterima oleh ego, terjadi proses represi (membuat hal ini tidak disadari).
c. Kecemasan semakin meningkat dan mengancam untuk muncul ke kesadaran, sehingga orang tersebut dengan cara tertentu “mengkonversikannya” ke dalam simtom fisik. Hal ini mengurangi tekanan bahwa ia harus mengatasi langsung konfliknya disebut primary gain (peristiwa yang dianggap member imbalan primer dan mempertahankan simtom konversi).

d. Individu memperoleh perhatian dan simpati yang besar dari orang-orang di sekitarnya dan mungkin juga dapat melarikan diri atau menghindar dari tugas atau situasi tertentu terdapat pula secondary gain.
4. PAIN DISORDER (Gangguan Nyeri)
Pain disorder atau Gangguan nyeri adalah ganguan somatoform yang memiliki fitur nyeri riil tetapi baik onset, tingkat keparahan, maupun persistensinya banyak ditentukan oleh faktor-faktor psikologis. Gangguan nyeri ini biasanya pada satu tempat atau lebih, yang tidak dapat dijelaskan secara medis maupun neurologis. Simtom ini menimbulkan stress emosional ataupun gangguan fungsional sehingga berkaitan dengan faktor psikologis. Keluhan dirasakan pasien berfluktuasi intensitasnya, dan sangat dipengaruhi oleh keadaan emosi, kognisi, atensi, dan situasi sehingga faktor psikologis mempengaruhi kemunculan,bertahannya, dan tingkat keparahan gangguan. Ciri-ciri gangguan nyeri meliputi:
• Adanya nyeri/rasa sakit serius di satu lokasi antomis atau lebih.
• Nyeri itu menyebabkan distres atau hendaya yang signifikan secara klinis.
• Faktor-faktor psikologis di nilai berperan pokok dalam onset, tingkat keparahan, keadaan yang memburuk, atau persistensi nyeri.
• Nyeri itu bukan pura-pura atau sengaja dibuat.

5.BODY DYSMORPHIC DISORDER (Gangguan Dismorfik Tubuh)
Gangguan dismorfik tubuh adalah gangguan yang memiliki preokupasi disroptif pada kekurangan yang dibayangkan terdapat pada penampilan seseorang (imagined ugliness). Artinya dimana seseorang memiliki preokupasi dengan kecacatan tubuh yang tidak nyata (misalnya hidung yang dirasakan kurang mancung), atau keluhan yang berlebihan tentang kekurangan tubuh yang minimal atau kecil. Orang pada gangguan dismorfik tubuh terpaku pada kekurangan fisik yang dibayangkan atau dibesar-besarkan dalam hal penampilan mereka. Mereka dapat menghabiskan waktu berjam-jam untuk memeriksakan diri di depan cermin dan mengambil tindakan yang ekstrem untuk mencoba memperbaiki kerusakan yang dipersepsikan, bahkan menjalani operasi plastik yang tidak dibutuhkan. Pada gangguan ini faktor subjektivitas berperan penting. Penyebab gangguan hingga saat ini belum dapat diketahui dengan pasti. Namun diperkirakan terdapat hubunganhubungan antara gangguan dengan pengaruh budaya atau sosial, dengan adanya konsep stereotip tentang kecantikan.



B. GANGGUAN DISOSIATIF

Gangguan disosiatif adalah gangguan yang ditandai dengan adanya perubahan individu tentang identitas, memori, atau kesadarannya. Individu yang mengalami gangguan ini memperoleh kesulitan untuk mengingat peristiwa-peristiwa penting yang pernah terjadi pada dirinya, melupakan identitas dirinya bahkan membentuk identitas baru. Ganggguan ini muncul akibat peristiwa traumatic dalam kehidupan dan digunakan sebagai pertahan diri menghadapi peristiwa tersebut. Gangguan disosiatif mencakup 4 gangguan yakni;
(1) Gangguan Identitas Disosiatif
(2) Amnesia Disosiatif
(3) Fugue Disosiatif
(4) Gangguan Depersonalisasi.

1. Dissociative Identity Disorder (Gangguan Identitas Disosiatif)
Gangguan identitas disosiatif adalah gangguan yang kronis dan paling serius kemunculannya biasanya berkaitan dengan adanya pengalaman traumatic dalam kehidupan individu, pada mulanya penyiksaan fisik pada kanak-kanak. Pada gangguan ini terkadang tersebut sebagai kepribadian terpecah, dengan kata lain seseorang memiliki dua atau lebih kepribadian yang berbeda atau kepribadian pengganti (alter).
Perubahan atau transisi dari satu kepribadian ke kepribadian lain, biasanya berlangsung secara mendadak dan mengejutkan.
Ciri-ciri gangguan identitas disosiatif, antara lain:
1. Sedikitnya dua kepribadian yang berbeda ada dalam diri seeorang, dimana masing-masing pola yang relatif kekal dan berbeda dalam mempersepsikan, memikirkan dan berhubungan dengan lingkungan serta self.
2. Dua atau lebih dari kepribadian ini secara berulang mengambil control penuh atas individu itu.3. Ada gangguan untuk mengingat kembali informasi pribadi penting yang terlalu substansial untuk dianggap sebagai lupa biasa.
4. Gangguan ini tidak dianggap terjadi karena effek zat psikoaktif atau kondisi medis umum.
2. Dissociative Amnesia (Amnesia Disosiatif)
Gangguan yang biasanya disebut orang yang tidak mampu mengingat apapun termasuk dirinya sendiri atau generalized amnesia (amnesia total) amnesia yang dapat berlangsung seumur hidup adapun mengenai localized amnesia atau selective amnesia yakni ketidakamampuan untuk mengingat kejadian –kejadian tertentu, biasanya terjadi karena kejadian yang traumatic. Gangguan ini disebut sebagai kehilangan ingatan tidak disebabkan oleh penyebab organic tertentu, seperti kerusakan pada otak atau kondisi medis tertentu,bukan pula effect langsung dari obat-obatan atau alcohol.
Ciri-ciri Dissosiatif amnesia,antara lain:
1. Satu episode atau lebih ketidakmampuan mengingat informasi pribadi yang penting, biasanya yang bersifat traumatic atau stressfull, yang terlalu ekstensif untuk dapat dijelaskan sebagai kelupaan biasa.
2. Episode-episode itu tidak terhubung dengan suatu kondisi medis, efek-efek psikologis dari suatu substansi( misalnya obat yang disalahgunakan) atau dari suatu gangguan psikologis yang berbeda.
3. Ketidakmampuan untukmengingat penyebab-penybab yang secara klinis significant bagi terjadinya distress atau daya ingat dalam menjalani fungsinya.
3. Dissociative Fugue (Fugue disosiative)
Fugue berasal dari bahasa latin fugere, yang berarti melarikan diri, fugue sama dengan amnesia” dalam pelarian”. Dalam fugue dissosiative memori yang hilang lebih luas dari pada amnesia dissosiative, individu tidak hanya kehilangan seluruh ingatanya ( misalnya nama, keluarga atau pekerjaanya), mereka secara mendadak meninggalkan rumah dan pekerjaanya serta memiliki identitas yang baru namun mereka mampu membentuk hubungan sosial yang baik dengan lingkungan yang baru. Gangguan ini muncul sesudah individu mengalami stress atau konflik yang berat,misalnya
pertengkaran rumah tangga, mengalami penolakan, kesulitan dalam pekerjaan dan keuangan, perang atau bencana alam . ciri-ciri Dissociative Fugue antara lain:
1. Pergi jauh dari rumah atau tempat kerja secara tiba-tiba dan tidak mampu mengingat masa lalunya.
2. Bingung terhadap identitas pribadi atau mendapatkan identitas baru secara persial atau total.
3. Gangguan tidak terjadi secara eksklusif selama berlangsungnya gangguan identitas dissosiative, dan bukan disebabkan oleh substansi tertentu atau kondisi medis secara umum.
4. Gangguan menyebabkan distress atau daya ingat significant untuk berfungsi secara normal.
4. Depersonalization Disorder (Gangguan Depersonalisasi)
Depersonal Disorder adalah gangguan dissosiative dimana perasaan dipersonalisasinya begitu berat hingga mendominasi kehidupan klien dan membuatnya tidak dapat berfungsi secara normal . Gangguan ini mencakup kehilangan atau perubahan temporer dalam perasaan yang biasa mengenai realitas diri sendiri, jadi orang merasa terpisah dari dirinya sendiri dan lingkungannya, kadangkala mereka berfikir dirinya robot, merasa dirinya sedang bermimpi atau terpisah dari tubuhnya, tetapi pada gangguan ini memori atau daya ingat individu tidak mengalami gangguan. Gangguan ini dapat disebabkan oleh masalah psikologis (stress yang berat), neurologist(merupakan gejala awal adanya masalah neorologis, seperti tumor otak atau epilepsy) dan penyakit sistematik( gangguan tiroid dan pankreas). Cirri- cirri gangguan depersonalisasi, antara lain:
1. Pengalaman yang berulang atau persisten dari depersonalisasi , yang ditandai oleh perasaan terpisah dari proses mental atau tubuh seseorang, seolah-olah seseorang menjadi pengamat luar dari dirinya sendiri. Pengalaman ini dapat memiliki karakteristik seperti mimpi.
2. Individu tersebut mampu mempertahankan pengujian realitas
3. (contohnya, membedakan kenyataan dari ketidaknyataan) saat keadaan depersonalisasi.4. Pengalaman depersonalisasi menyebabkan distress atau daya ingat pribadi yang signifikan pada satu atau lebih area fungsi yang penting seperti fungsi sosial atau pekerjaan.
5. Pengalaman dipersonalisasi tidak dapat dimasukkan kedalam gangguan lain atau tidak merupakan effek langsung dari obat-obatan, alcohol, atau kondisi medis.

C. Penanganan Gangguan Somatoform dan Gangguan Dissosiatif.
1. Gangguan Somatoform
Penanganan biasanya melibatkan terapi psikodinamika atau kognitif-behavioral.
• Penanganan Biomedis yakni penggunaan anti depresan yang terbatas dalam menangani hipokondreasis.
• Terapi kognitif Behavioral dapat berfungsi pada menghilangkan sumber-sumber reinforcement sekunder( keuntungan sekunder), memperbaiki perkembangan keterampilan coping untuk mengatasi stress dan memperbaiki keyakinan yang berlebihan atau terdistorsi mengenai kesehatan atau penampilan seeorang
• Terapi psikodinamika atau yang berorientasi terhadap pemahaman dapat ditujukan untuk mengidentifikasi dan mengenali konflik-konflik yang mendasarinya.
2. Gangguan dissosiatif
Gangguan identitas dissosiatif tetap merupakan tantangan bagi sejumlah penanganan; amnesia dissosiative dan fugue dissosiatif cenderung terselesaikan dengan sendirinya.
• Penanganan biomedis yakni terapi obat( tipe anti depresan-SSRI) dapat membantu menangani gangguan depersonalisasi.
• Terapi psokodinamika, untuk gangguan dissosiative. Terapi psokoanalistik dapat digunakan untuk mendapat integrasi kembali dari kepribadian.




Daftar Rujukan


Jeffrey S. Nevit A. Rhathus, Beverly Greene, Psikologi Abnormal, Ed.5, Jilid1, Erlangga, Jakarta, 2003
V. Mark D dan David HB, Intisari Psokologi Abnormal, ed. 4 Cet.1 Pustaka pelajar: Jogjakarta, 2006.
Fitri Fauziyah dan Julianti W., Psikologi Abnormal Klinis Dewasa, UII Press, Jakarta, 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar